Orang Inggris dan Singapura menyebutnya dengan panggilan terhormat, Sir. Padahal, sosok yang paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia-Belanda ini tidak lahir di lingkungan istana. Dia bukan bangsawan atau kaum feodal yang berhak menyandang gelar “Tuan”.
Lahir dengan nama Thomas Raffles dari seorang ayah yang awalnya hanya tukang masak di sebuah kapal kemudian menjadi Kapten. Mencantumkan nama “ Stamford” di tengah namanya di kemudian hari, yaitu ketika sosok berkarakter penuh warna ini berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati di kawasan Laut Cina Selatan. Sejarah hidupnya dimulai ketika dirinya dikirim ke Penang, Malaysia pada tahun 1804.
Pada masa menjadi Gubernur Jenderal di Tanah Jawa (1811-1816), Raffles mengubah sistem tanam paksa yang diberlakukan kolonial Belanda dengan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Jawa. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris, yaitu memakai jalur kiri yang dipakai.
Thomas Stamford Raffles menggambarkan orang Jawa –yang sangat dipujinya- sebagai “ orang pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, cenderung tidak melakukan usaha ke luar daerahnya, dan tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan dan pertumpahan darah”. Raffles juga berupaya membedakan persepsi Inggris dan Belanda terhadap masyarakat Jawa, dengan mengutip pernyataan seorang Belanda yang bermukim di Jawa. Ia mengatakan bahwa sifat utama orang Jawa adalah “pendendam, bengis, tidak taat pada atasan, meremehkan dan despotik terhadap orang di bawahnya, .... cenderung merampok dan membunuh daripada bekerja, serta licik dalam melakukan perbuatan tidak terpuji”. Dengan pencitraan seperti ini, Raffles tampak lebih simpatik bagi orang Jawa daripada Belanda yang telah “menimbulkan banyak penderitaan dan perusakan pad masyarakat Jawa.” Lebih lanjut Raffles menyatakan bahwa orang Jawa tidak memiliki sifat “amuk” (chaos). Adapun kekerasan yang terjadi adalah akibat dari “kehidupan di bawah pemerintahan dimana keadilan jarang ditegakkan dengn sebenarnya dan tanpa pandang bulu”.
Pada 13 Agustus 1814, Konvensi London diberlakukan, yaitu bahwa semua wilayah yang pernah dikuasi Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris. Konvensi tersebut tidak berlaku untuk Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Raffles menerima konvensi itu dengan terpaksa. Ia menangis ketika meninggalkan Tanah Jawa untuk kembali ke Inggris .
Pada 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke Timur dan menjadi Gubernur di Bengkulu yang kemudian sekarang dikenal sebagai Pulau Sumatra. Setahun masa pendudukannya di bagian barat Sumatra, Raffles kemudian menggagas proyek bernama “Singapore”. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa kecewanya karena penyerahan Tanah Jawa kepada Belanda. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil namun akan lebih maju daripada Tanah Jawa. Sumpah Thomas Stamford Raffles ini kemudian terbukti. Pulau Singapura melesat menjadi koloni perdagangan paling strategis dalam sejarah kolonialisme Inggris di Hindia-Timur.
Sumber: The History Of Java bagian Pengantar oleh Drs. Syarruddin Azhar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar